Kamis, 08 Mei 2008

Era Informasi

Keluarga dan Budaya Informasi
Oleh : Gunawan Trihantoro, S.Pd.I.


Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau akan menuju kepada masyarakat informasi (information society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industrial atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup.

Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki cirri-ciri masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Dalam era (globalisasi) informasi ini, menurut Azyumardi Azra (1999), manusia sangat bergantung kepada informasi. Semua bidang kehidupan manusia dikuasai oleh informasi.

Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan masyarakat. Penggunaan teknologi elektronika seperti televise, computer, faksimile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan yang bersifat internasional, mendunia, dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan computer orang memasuki lingkungan informasi dari seluruh dunia. Computer bukan saja sanggup menyimpan informasi dari seluruh dunia, melainkan juga sanggup mengolahnya dan menghasilkannya secara lisan, tulisan, bahkan visual.

Peran media elektronik yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah, dan sebagainya. Computer dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasihat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.

Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengauh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki masyarakat modern. Dari keadaan ini semua masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu baik dalam bidang social, budaya, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana, prasarana, dansebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh keluarga sebagai pusat pendidikan anak yang pertama dan utama.

Keluarga dan Era Informasi
Orang tua, menurut Zakiyah Daradjat (2000), merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.

Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Sebagai unsure pokok dalam pendidikan, keluarga –dalam hal ini orang tua- memainkan peran penting dan terbesar dalam melaksanakan tanggungjawab pendidikan.

Keluarga berpotensi besar yang amat strategis dalam penciptaan masyarakat informasi. Dengan jumlah anggota keluarga yang dimiliki (anak-anak), orang tua dapat mengarahkan perkembangan proses terciptanya masyarakat informasi secara lebih positif.

Karena begitu banyak dan luasnya fenomena yang terjadi era informasi ini dengan segala bentuknya yang beraneka ragam, seorang pengikut linguistic modern, Dr. Maximus, berdoa untuk keselamatan dunia, “Ya Tuhan, lindungilah kami agar tidak tenggelam dalam samudera informasi”, karena selama ini belum pernah ada yang mengancam jiwa kita, yang menghantui dan memenuhi imajinasi di benak kita, serta yang menghina keberadaan intelegensi kita seperti yang telah dilakukan oleh informasi (Parvez Manzoor, 2000).

Pada era ini, keluarga di Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan akibat masuknya nilai-nilai baru yang sering bertentangan dengan budaya bangsa. Persaingan ini terjadi dalam keadaan tidak seimbang. Budaya nasional harus bersaing dengan budaya global yang didukung teknologi canggih dan dana sangat besar.

Wajah keluarga saat ini mulai berubah. Perkembangan jaman yang mengubah gaya hidup masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami-istri, pola asuh, dan pendidikan anak tidak bisa lagi mempertahankan pola lama sepenuhnya.

Pengaruh yang diterima suami-istri, juga anak, tidak dapat dipisahkan lagi dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi, anak bisa langsung menerima pengaruh luar, yang tentu saja selalu mempunyai dua sisi: baik dan buruk (SM, 23/4).

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, globalisasi informasi yang telah memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan keluarga harus secepatnya diantisipasi keberadaanya dalam upaya menyelamatkan anak-anak dari dampak negative yang dibawanya. Untuk itu perlu dilakukan upaya strategis, antara lain pertama, mendidik anak di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya melahirkan anak yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia kompetitif.

Kedua, orang tua di masa mendatang adalah orang tua yang selain memiliki dan memberikan informasi, berakhlak baik dan mampu menjadi tauladan, juga harus mampu mendayagunakan berbagai produk teknologi informasi untuk lebih memajukan pendidikan anak.

Ketiga, orang tua harus mampu mengintegrasikan keseluruhan potensi yang dimiliki anak yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh. Hal ini penting karena kehidupan masa mendatang banyak dihadapkan pada tantangan yang bersifat moral. Untuk itu, perlu ditanamkan pada anak tentang akhlak tasawuf. Wallahu a’lam.

Nasionalisme Pemimpin

Diperlukan Pemimpin Berjiwa Nasionalisme
Oleh : Guinawan Trihantoro, S.Pd.I.

Nasionalisme Indonesia, setidaknya setelah 60 tahun proklamasi kemerdekaan tidak lepas dari berbagai terpaan masalah. Secara eksternal globalisasi, merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari.

Globalisasi sering dianggap mengancam nasionalisme. Ciri utama globalisasi yang menyebabkan makin pudarnya batas-batas nasional dipandang mempengaruhi kesetiaan orang pada negara atau nasionalisme. Orang semakin berfikir global dan melayani kepentingan ekonomi dan politik global daripada kepentingan nasional negaranya.

Kelahiran Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar, tak bisa dilepaskan dari imagi. Tanpa imagi, tak mungkin belasan ribu pulau dengan kekayaan keberagaman dapat bersatu di bawah satu bendera merah-putih. Imagi inilah yang melahirkan rasa nasionalisme di seantero masyarakat, dari sabang sampai merauke. Pandangan Benedict Anderson tentang imagined communities dapat mengilustrasikan tentang bagaimana imagi dapat berperan dalam terbentuknya sebuah bangsa dan negara.

Menurut Ernest Renan, timbulnya nasionalisme didasarkan kepada perasaan menderita bersama (having suffered together), sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan asasi (genuine glory). Ronald H. Chilote, dalam Teori Perbandingan Politik, penelusuran paradigma membagi pemahaman nasionalisme menjadi empat pendekatan; Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Nasionalisme Pembangunan Politik, yaitu bertujuan memberikan impulls ideologi dan motivasi bagi pembangunan. Nasionalisme terbangun pada pola-pola penanaman perilaku sehingga orang-orang tidak hanya mengenali bangsa mereka dengan bangga, namun juga rasa hormat dan patuh kepada pemegang kewenangan dan legitimasi pemerintahan. Nasionalisme Pembangunan Ekonomi, melalui permintaan produksi serta konsumsi dengan tingkat-tingkat yang lebih tinggi dan gaya yang lebih beragam, pemerataan distribusi dan derajat-derajat spesialisasi. Nasionalisme Pembangunan Sosial, melalui perhatian kepada kesenjangan antar kelas serta potensi mobilisasi dan agregasi. Dan pada Pembangunan Nasionalisme Budaya melalui pembangunan psikologis, menandainya penguatan sumber daya manusia, melalui lembaga pendidikan, serta pola-pola kehidupan pemikiran umum yang dibentuk oleh pengalaman keseharian maupun pengalaman generasi ke generasi.

Bangsa Indonesia telah menjalani sejarah yang cukup panjang. Dalam rentang perjalanannya, bangsa ini telah mengalami dinamika pasang-surut. Dalam dinamika itu, bangsa ini telah mengalami kemajuan. Akan tetapi, sebagai bangsa yang hidup bersama dengan bangsa lain, kita patut berkaca kepada negara lain. Ketika itu, kita akan mengerti bahwa bangsa lain lebih maju dibandingkan kemajuan yang terjadi pada bangsa kita. Karena itu, kita membutuhkan langkah-langkah mendasar untuk meningkatkan percepatan kemajuan bangsa ini agar tidak tertinggal semakin jauh.

Hal mendasar yang mungkin harus dibangun untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi bangsa ini adalah dengan menyiapkan dan mencetak kepemimpinan yang berjiwa nasionalisme. Pemimpin yang berjiwa nasionalisme merupakan langkah yang sangat fundamental dan strategis untuk menciptakan masa depan bangsa Indonesia yang lebih cerah.

Kemampuan kepemimpinan efektif yang berjiwa nasionalisme merupakan kebutuhan mutlak bagi kemajuan bangsa Indonesia apalagi menghadapi krisis multidimensi yang belum selesai ditangani dalam perkembangan strategis global.

Karena itu, kemampuan kepemimpinan dimaksud perlu terus dilatih dan dikembangkan, menghadapi perkembangan tantangan globalisasi dan pengaruhnya, serta kompetensinya yang begitu ketat dan cepat, di samping krisis multidimensi yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi.

Sesungguhnya bangsa Indonesia memiliki jejak sejarah yang layak untuk diteladani. Bahkan harus diakui, sejarah masa lalu telah menampilkan pendiri bangsa yang harus diteladani karena jiwa nasionalismenya mereka sebagai pejuang yang tak hanya hebat, tetapi juga ulet dan teguh pendirian. Jiwa nasionalisme yang kuat dalam dirinyalah yang membuat mereka tak bisa didikte oleh bangsa lain. Sehingga dengan percaya diri merancang masa depan bangsanya sendiri. Mereka adalah the golden generation yang melakukan perjuangan demi bangsa berdasarkan hati nurani, kecerdasan dan wawasan yang komprehensif. Mereka cerdas dan berwawasan luas karena mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa nasionalisme.

Kalau dulu pemimpin dan penyelenggara Negara yang dijajah merasa dihinakan, baik secara psikologis dan fisik yang menyengsarakan. Tetapi hal itu tidak terjadi pada sebagian besar pemimpin dan penyelenggara Negara kita sekarang. Elit negara yang secara yuridis telah berdaulat justru merasa mulia karena mereka hidup dalam kelimpahan harta yang diperoleh melalui praktek kolusi dengan elite korporasi. Mereka sudah merasa menjadi tuan, walaupun sesungguhnya hanya menjadi budak untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan negeri sendiri.

Inilah penyebab utama bangsa ini tidak mampu menjadi bangsa yang mandiri. Ketergantungan kepada pihak asing justru tampak semakin besar. Ini terlihat dari orientasi solusi yang diambil oleh para pemimpin dan penyelenggara negara dalam menyikapi setiap peningkatan kebutuhan. Impor beras menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan beras. Demikian juga menghadapi kekurangan gula dan daging sapi. Padahal ada solusi strategis yang lebih tepat, yaitu dengan meningkatkan produksi lewat pengelolaan pertanian dan peternakan secara intensif. Jika itu menjadi pilihan, biayanya lebih rendah dan menghemat devisa.

Realitas lain yang sangat memprihatinkan adalah ditemukannya deposit tembaga dan emas di tanah Papua. Dan deposit tersebut justru dipersembahkan untuk freeport. Begitu pula cadangan minyak di Cepu, malah diserahkan ke Exxon Mobil. Ini karena sikap inlander sebagian pemimpin kita yang tidak mampu mengelola sumber daya alam sendiri. Padahal dengan dukungan tenaga-tenaga ahli dan permodalan yang tersedia, kekayaan alam tersebut mampu dikerjakan sendiri dan bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam kontek inilah, jiwa nasionalisme adalah faktor yang sangat signifikan dalam pembangunan bangsa. Tak kurang referensi, baik berupa bukti konkret maupun dalam literatur yang mendukung bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara jiwa nasionalisme pemimpin dengan suatu bangsa. Maka bangsa Indonesia perlu mengembangkan strategi dan kemampuan kepemimpinan yang berjiwa nasionalisme bagi seluruh komponen bangsa pada berbagai sektor dan tingkatan, agar memiliki kasadaran untuk memajukan bangsa Indonesia secara bersama-sama dan mandiri. Semoga.

Dikpol

PENDIDIKAN POLITIK:
MENAKAR NASIONALISME GENERASI MUDA
Oleh : Gunawan Trihantoro

Suatu bangsa yang merdeka, yang ingin maju dan berkembang serta terjamin hidupnya, haruslah memiliki keyakinan terhadap kebenaran yang dianutnya, baik sebagai bangsa maupun pribadi, dan yang menjadi pedoman bagi kehidupan dan penghidupannya baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Keyakinan itu menjadi pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.

Bagi bangsa Indonesia, keyakinan akan nilai kebenaran seperti itu pada hakikatnya telah tersurat dan tersirat dalam pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang memberikan tuntunan sekaligus kesadaran atau pandangan tentang bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menempuh atau menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara serta tujuan apa yang hendak dicapai dalam hidupnya.

Pokok-pokok pikiran bangsa inilah yang kemudian melandasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan atas dasar kesepakatan nasional pada tanggal 18 Agustus 1945 diterima oleh bangsa Indonesia sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dirumuskan sebagai Pancasila. Hal itu berarti bahwa Pancasila yang penyebarannya terurai dalam dasar negara, yaitu UUD 1945. Secara resmi menjadi sumber hukum dan moral yang mengikat se;uruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, dan oleh karena itu, harus dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila yang tidak lain merupakan tuangan hati nurani dan sifat khas karakterisitik bangsa, secara hakiki tidaklah lahir pada saat tercapainya kemerdekaan, tetapi ia telah tumbuh dan berkembang melalui proses yang panjang.

Dikpol bagi Generasi Muda
Pada prinsipnya pendidikan politik (dikpol) bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menjunjung kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik itu juga harus merupakan bagian proses pembaharuan kehidupan politik banga Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang bena-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif, dan efisien.

Sebenarnya, pendidikan politik itu secara alamiah telah berjalan dan tetap akan berlangsung terus melalui berbagai interaksi sosial dalam masyarakat yang dikenal sebagai proses penghayatan nilai. Melalui penghayatan itulah generasi muda belajar, mendalami, dan melatih diri serta meyakini bahwa nilai-nilai itu adalah nilai yang terbaik dan paling sesuai dengan kondisi obyektif.alam pikiran dan perasaannya serta menurut hati nurani maupun penalarannya benar-benar merupakan bagian hidupnya.

Disinilah letak peran pendidikan politik itu. Ia berfungsi untuk lebih memberi isi dan arah pengertian kepada proses penghayatan nilai yang sedang berlangsung. Dalam hubungan ini, jelas bahwa pendidikan politik yang dimaksud ditekankan kepada usaha mendapatkan pengeritian tentang nilai yang etis-normatif, yaitu dengan menanamkan nilai dan norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan bangsa dan negara.

Dalam kaitannya dengan masa depan, hal itu perlu dalam rangka menjawab tantangan, terutama kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin lama makin maju, dan kemajuan itu selain memiliki nilai positifnya juga mengandung aspek negatif. Selain itu, dengan pendidikan politik ini diharapkan bahwa generasi muda secara dini dapat dipersiapkan untuk dengan penuh ketangguhan menghadapi setiap ancaman yang bersumber dari berbagai ideologi politik yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Nasionalisme sebagai cita-cita bangsa dalam konteks Indonesia merupakan konsensus sosial-politik yang melampaui karakter rasial, keagamaan, dan berbagai latar belakang sosial-ekonomi lainnya yang terbentuk melalui fase-fase sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di bawah mainstream pemikiran the founding fathers dalam perjuangannya menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perjalanan bangsa yang cukup panjang menuju cita-cita itu pada gilirannya selalu berhadapan dengan situasi-situasi baru, dimana hal itu tidak selalu memberikan semangat dan kekuatan yang menguntungkan. Bahkan sebaliknya menjadi ancaman yang signifikan bagi keutuhan bangsa yang sesungguhnya telah menemukan jati diri nasionalisme, seperti Indonesia yang tertuang dalam banyak naskah bersejarah dimana hal itu dapat kita pahami sebagai bentuk penegasan komitmen sosial di atas prinsip-prinsip konsepsi nasionalisme waktu itu.

Menurut Ahmad Doli Kurnia, nasionalisme yang sudah dibangun oleh the founding fathers, betapa dekade terakhir terasa semakin redup dari republik ini. Salah satu kritik atas meredupnya nyala api nasionalisme tersebut, tak pelak lagi kerap dialamatkan pada praktik dan budaya kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang diterapkan oleh sebagian elit politik, penyelenggara negara, serta gaya hidup sebagian kalangan elit yang menimbulkan kecemburuan sosial segolongan masyarakat. Akibatnya mereduplah sikap dan perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa.

Platform negara kebangsaan pun mendapat gugatan serius relevansinya. Selain itu, merebaknya praktik pemerintahan yang kerap memanipulasi nasionalisme, KKN, dan aneka kultur kekerasan yang dilakukak negara, tak pelak lagi merupakan faktor penting runyamnya national building yang kemudian merontokkan bangunan nasionalisme generasi muda kita akhir-akhir ini. Sebagian akibat kesalahan penerapan manajemen pemerintahan lama yang arogan dan otoriter.

Di samping itu, arus deras globalisasi juga telah mempengaruhi bangunan nasionalisme bangsa-bangsa saat ini. Termasuk nasionalisme Bangsa Indonesia, globalisasi juga melanda generasi muda dan cenderung menggerus wacana nasionalisme-nya. Kecenderungan yang terjadi akibat gempuran globalisasi ini sangat beragam, bahkan mengancam keberlangsungan NKRI. Munculnya kesenjangan sosial ekonomi dan berujung pada gerakan sparatisme memberikan gambaran kepada kita bahwa gelombang globalisasi ini sangat dahsyat.

Sejumlah analisa atas perkembangan dinamika sosial politik Indonesia kontemporer, khususnya terkait dengan perkembangan terkini nasionalisme generasi muda indonesia, kiranya sangat menarik untuk kita renungkan. Terlebih dalam kondisi dimana bangsa kita belum juga mampu menciptakan stabilitas sosial politik secara permanen di usia yang sejatinya sudah mencapai taraf kedewasaan dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Fenomena ini setidaknya dapat kita lihat dan rasakan pada situasi sekarang, yakni mencuatnya sentimen priomordial di sejumlah daerah di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, yang biasanya dimainkan melalui isu pemerataan pembangunan. Sentimen-sentimen primordial tersebut, belakangan ini semakin memperlihatkan keberaniannya melalui fakta maraknya konflik sosial yang kerap terjadi. Celakanya hal itu terjadi pada kondisi bangsa yang tengah mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi.

Untuk itu, kita perlu melakukan langkah-langkah konstruktif dan realistis terhadap situasi yang menggambarkan fenomena berkembangnya proses reduksi prinsip nasionalisme di Indonesia saat ini. Ada dua hal yang mungkin bisa kita lakukan secara konsepsional. Pertama, melakukan penguatan kembali bangunan nasionalisme generasi muda dengan wajah barunya yang lebih menarik dan kontekstual, yakni melalui pendidikan politik dalam upayanya melakukan pemantapan wawasan kebangsaan mereka, terutama guna melunakkan ancaman arus globalisasi.

Kedua, memberikan pencerahan bagi bangsa kita, khususnya generasi muda yang kini mengalami kegelisahan berkepanjangan akibat gejolak sosial politik bangsa yang terus berjalan tantpa arah yang jelas, sejak terjadinya perubahan radikal di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai efek domino dari dinamika sosial politik di era reformasi sekarang. Wallahu a’lam.

Selasa, 08 April 2008

PERAN PEREMPUAN


Peran Perempuan dalam Pendidikan Anak

Oleh: Imroyati, S.H.I.

Keberhasilan anak usia dini merupakan landasan bagi keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Usia dini merupakan "usia emas" bagi seseorang, artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya.


Pendidikan bagi anak usia dini sangat penting dilakukan. Sebab, pendidikan bagi anak usia dini merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu ditandai dengan karakter, budi pekerti luhur, pandai, dan terampil. Hal seperti itu banyak dinyatakan para ahli pendidikan anak bahwa pendidikan yang diberikan pada usia dini di bawah 8 tahun, bahkan sejak anak masih dalam kandungan adalah penting sekali.

Pada tahun pertama kehidupannya, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting dan menentukan kualitas di masa depan.

Selama tahun pertama, otak bayi berkembang pesat. Kepesatan perkembangan itu karena otak bayi menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antara sel otak yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan ini akan semakin kuat apabila ia sering digunakan. Sebaliknya, akan semakin melamah dan akhirnya musnah apabila jarang atau tidak pernah digunakan. Hasil penelitian menyebutkan apabila anak jarang disentuh, perkembangan otaknya lebih kecil dari ukuran normal anak seusianya (lihat Depdiknas, 2002).

Selain itu, perkembangan intelektual anak usia 4 tahun telah mencapai 50 %, pada usia 6 tahun mencapai 60 % dan pada saat mencapai usia sekitar 18 tahun perkembangannya telah mencapai 100 %. Ini berati perkembangan yang terjadi pada rentang usia 4 tahun pertama sama besar dengan yang terjadi pada rentang usia 5 hingga 18 tahun atau yang terjadi selama 14 tahun dan pada saat usia 8 tahun, anak telah memiliki kemampuan berfikir yang hampir sempurna.

Demikian pesat dan pentingnya perkembangan yang terjadi pada masa-masa awal kehidupan anak sehingga masa awal ini merupakan masa-masa emas (golden age). Masa ini hanya terjadi satu kali dalam kehidupan manusia dan tidak dapat ditangguhkan pada periode berikutnya. Inilah yang menyebabkan masa anak sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena itu, anak harus dipersiapkan dengan cara dibina dan dikembangkan agar berkembang secara optimal.

Pendidikan di keluarga memberikan sumbangan yang bermakna, baik terhadap ketahanan maupun kesehatan mental anak. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Namun, saat ini muncul kecenderungan orang tua –khususnya kaum perempuan (ibu)- kurang memperhatikan anak pada usia dini di dalam keluarga (?)

Peran Perempuan
Tidak bisa dipungkiri perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan ini, kendati peran tersebut sering terlupakan. Pepatah mengatakan bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki terdapat rahasia seorang perempuan bukanlah sekedar dongeng belaka. Sejarah pun telah melukiskan kebenaran pepatah tersebut. Keberhasilan Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah tidak bisa dilepaskan dengan peran Siti Khadijah yang begitu gigih mendampingi beliau. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.

Khusus untuk proses kelahiran generasi-generasi penerus bangsa dan agama, perempuan –sebenarnya- mempunyai peran yang sangat penting. Namun peran tersebut sering terlewatkan dan disia-siakan, baik oleh perempuan itu sendiri maupun oleh lingkungan yang ada. Banyak yang menjadi sebab terjadinya fenomena ini, yang di antaranya adalah budaya patriarki yang masih sangat dijunjung tinggi, di samping kurangnya pengetahuan akan peran penting perempuan dalam pendidikan anak.

Budaya patriarki tidak hanya eksis di lingkungan kita saja, akan tetapi ia telah mendominasi hampir di seluruh wilayah yang ada di dunia ini. Maka ketika perempuan yang sudah tersadarkan akan menggugat budaya tersebut dengan berupaya untuk menumbangkan budaya tersebut. Gerakan ini pada awalnya hanya sekedar menggugat segala ketidakadilan yang ditimbulkan oleh hegemoni budaya patriarki. Namun dalam perjalanannya, tidak jarang para pelaku gerakan ini sudah melewati garis-garis kewajaran. Mereka –para pelaku gerakan yang biasa disebut dengan kaum feminis- akan menggugat segala hal yang dianggap mendeskriditkan perempuan, termasuk agama.

Dalam Islam budaya ini sesungguhnya tidak dikenal. Islam menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dan mereka hanya dibedakan dalam kadar kualitas keimanan mereka masing-masing. Kalaupun terdapat perbedaan, itu hanya dalam segi fungsi sosial yang diperankan oleh masing-masing pihak, perempuan dan laki-laki. Maka apabila terdapat anggapan bahwa laki-lakilah yang mempunyai peran penting dalam rumah tangga –termasuk dalam pendidikan anak, itu merupakan anggapan yang keliru. Bukankan Allah swt. telah mengajarkan kita untuk mendoakan kedua orang tua kita dengan: "Allahumma ighfirlii dzunuubii wa liwaalidayya wa irham humaa kamaa rabbayanii shaghiraa?" Dari do'a tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa antara ayah –laki-laki- dan ibu –perempuan- keduanya mempunyai peran yang sama penting dalam pendidikan seorang anak.

Ibu adalah madrasah pertama bagi pendidikan seorang anak. Apa yang didapatkan oleh seorang anaknya pada masa-masa awalnya akan sangat berpengaruh ketika ia tumbuh besar kelak. Usia anak yang cenderung meniru apa yang dilakukan sangat ditentukan siapa yang ada di sekelingnya tersebut. Di sinilah letak peran penting seorang perempuan dalam pembentukan watak seorang anak, dimana perempuanlah orang yang pertama kali berhubungan kontak dengan sang anak, yaitu dimulai sejak sang anak berada dalam kandungan atau bahkan jauh sebelum itu.

Ketika anak dalam kandungan, perempuan sebagai ibu –selain juga peran penting ayah- memainkan peran penting untuk pertumbuhkambangan sang anak. Ketika ibu tidak menjaga pola kesehatan fisik dan mentalnya, akibat buruk tidak hanya dirasakan oleh perempuan itu sendiri, anak yang berada di dalam kendungannya pun turut merasakannya. Fenomena ini akan berlanjut hingga sang anak lahir. Kontak fisik dan batin begitu erat terjalin antara ibu dan anak. Maka ketika seorang ibu memperlakukan anak dengan kasar ketika merawat sang anak, maka pada saat itu pula ia telah memberikan contoh perilaku kasar pada sang anak.

Pada masa-masa berikutnya, anak akan melewati sebuah masa emas atau lebih sering disebut dengan golden age. Anak akan dengan mudah mencerap segala informasi yang sampai padanya. Ia akan menjadikan informasi-informasi tersebut melekat dengan kuat dalam ingatannya. Hingga dikatakan: "belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu." Bagi orang tua yang menyadari betul akan istimewanya masa-masa tersebut akan memanfaatkan masa tersebut dengan sebaik-baiknya. Ia akan melakukan pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan psikologi anak. Dan bagi orang tua yang menyadari akan pentingnya nilai-nilai agama, penanaman nilai-nilai agama, moral dan akhlak akan dilakukan pada masa-masa emas ini pula.

Kita tentu mengetahui sejarah para ulama kita yang dalam usia yang sangat belia telah menguasai berbagai ilmu agama. Sebut salah satu di antaranya adalah Imam Syafi’i. Selain karomah Allah swt. yang teruanugerahken kepada beliau, peran ibu beliau –yang jarang kita kenal- sangat berperan, dimana beliau sudah yatim semenjak kecil. Maka –sekali lagi- ditekankan, ibu haruslah mengerti dan memahami posisi penting ini dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk sebuah "misi suci," membangun generasi-generasi tangguh yang akan menjadi pelaku-pelaku sejarah di masa mendatang. Akan berbeda tentunya bila kita membandingkan perempuan yang mempunyai ilmu dan tidak. Ketika perempuan itu mempunyai ilmu dan memahami hakekat dirinya –sebagai khalifah- maka ia akan selalu berbuat apa yang disebut al Quran sebagai gelar al Quran bagi kaum Muslim, umat yang terbaik yang selalu bermanfaat bagi manusia. Perempuan yang menyadari dan memahami akan tugas ini pun akan melakukan tugas ini dengan posisi di mana ia berada.

Sayangnya, sedikit sekali orang tua yang menyadari peranan penting mereka –lebih-lebih ibu yang mempunyai kedekatan emosional lebih- dalam pendidikan anak ini. Mereka beranggapan ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, maka tanggung jawab pendidikan sudah lepas dari tangan mereka dan beralih pada guru-guru yang ada di sekolah. Padahal, pada kenyataannya, lebih banyak waktu kebersamaan keluarga bagi anak daripada kebersamaan anak dengan guru-guru mereka.


Terlebih lagi pada ibu. Ibu yang mempunyai peran penting dalam sosialnya, seperti melahirkan, menyusui dan mendidik –di samping ayah- seyogyanya menyadari betul akan peran penting yang dimainkannya. Ia seharusnya memanfaatkan momen-momen penting yang dilalui oleh anak dan mengisinya dengan hal-hal yang berharga, melalui pendidikan yang ia berikan selama kebersamaannya dengan sang anak. Ia juga berpeluang untuk menanamkan nilai-nilai yang bersumber pada agama yang juga sesuai dengan fitrah sang anak. Maka ketika semua ini disadari, akan lahir generasi-generasi tangguh dari keluarga tersebut.

Dalam sebuah syair dikatakan:
"Ibu adalah pembina bangsa, jika dibina dengan sempurna telah kau bangun suatu bangsa menjadi bangsa yang sukses mulia.
Ibu laksana taman nan menawan, jika dirawat dan dicurah hijan akan tumbuh mekar dan segar berdaun lebat rindang menyebar.
Ibu adalah guru utama dari sebanayk guru pertama, jasa baik karya nyatanya penuhi penjuru dunia".

Dari hal tersebut, tidak mengherankan bila Nabi Muhammad saw. menjadikan ibu bertingkat tiga dibanding ayah dalam penghormatannya. Subhanallah.

PERAN ORANGTUA

Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak
Oleh: Gunawan Trihantoro

Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan menjadi binatang, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan mengajarinya dengan akhlak yang baik (Al-Ghazali).

Membicarakan pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkan. Sebab pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperolah kesinambungan, pertahanan dan peningkatan hidup. Dalam bahasa agama, demi memperoleh ridha atau perkenan Allah. Sehingga keseluruhan tingkah laku tersebut membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (ber-akhlaq karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di Hari Kemudian. Bagi umat Islam, makna semacam itulah yang terkandung dalam pernyataan do’a pembukaan (iftitah) shalat, bahwa "shalat kita, juga darma bakti, hidup dan mati kita, semua adalah untuk atau milik Allah, seru sekalian alam".

Karena itu renungan tentang apa yang dimaksudkan dengan pendidikan tidak terbatas hanya kepada pengajaran. Di sinilah, kemudian terlihat betapa penting peran orang tua dalam mendidik anak melalui kebiasaan kesehariannya. Dalam hal ini yang ditekankan adalah pendidikan oleh orang tua, bukan pengajaran.

Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain itu sebagian besarnya hanyalah pengajaran, berujud latihan dan pelajaran membaca buku-buku pengetahuan, termasuk membaca Al Qur’an dan mengerjakan ritus-ritus.

Sebagai pengajaran, peran ‘orang lain’ seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas terutama kepada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif –meskipun ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang lebih bersifat afektif. Namun jelas bahwa segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah tangga, melalui orang tua dan suasana kerumahtanggan itu sendiri.

Karena itu, meskipun ada guru yang dapat bertindak sebagai pendidik, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara utuh. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang nota-bene dapat ‘diwakilkan’ kepada orang lain tadi).

Peran orang tua adalah peran tingkah laku, tulada atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Di sinilah lebih-lebih akan terbukti benarnya pepatah "bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan" (Lisaan-u’l haal-i afshah-u min lisaan-i‘l-maqaal) (Nurcholis Madjid, 2001).

Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya, tidaklah cukup dengan cara "menyerahkan" anak tersebut kepada suatu lembaga pendidikan -atau orang lain. Tetapi lebih penting dari itu orang tua haruslah menjadi guru yang terbaik bagi anak-anaknya. Dan orang tua yang demikian, tidak hanya mengajarkan pengetahuan (yang harus diketahui) dan menjawab pertanyaan-pertanyaa anaknya, tetapi lebih dari itu orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Melalui keteladanan dan kebiasaan orang tua yang gandrung pada ilmu, menjaga integritas moral dan kesalehannya dalam beribadah inilah, anak-anak bisa meniru, mengikuti dan menarik pelajaran berharga darinya (Suharsono, 2003).

Para ahli pendidikan hampir sepakat bahwa pendidikan yang paling dini diterima anak berasal dari kedua orang tuanya. Dalam hal ini ayah dan ibu memiliki peran yang sangat menentukan masa depan putra-putrinya.

Sebagaimana dikatakan Dr. Zakiyah Daradjat (2000), bahwa orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.

Dalam hal ini, Dr. Ali Qaimi (2003), juga mengatakan bahwa orang tua adalah unsure pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam melaksanakan tanggung jawab ini. Dari satu sisi, orang tua adalah pembawa warisan keturunan dan di sisi lain merupakan bagian dari masyarakat.

Dari sisi keturunan, keduanya membawakan banyak sifat-sifat yang ada pada mereka, juga sifat-sifat yang ada pada nenek moyang sang anak. Adapun, dari sisi lingkungan, orang tua merupakan sekolah pertama yang darinya anak memperoleh nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak yang terpuji, atau, sebaliknya, keburukan-keburukan dan akhlak yang bobrok. Seorang ibu, dalam masa seperti ini, memainkan peran penting dan krusial. Sebab, tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat ketimbang tanggung jawab yang diemban sang ayah. Terutama, pada tahun-tahun pertama di mana ia merupakan satu-satunya sandaran bagi sang anak.

Untuk mengetahui betapa pentingnya peran orang tua, cukuplah untuk dikatakan bahwa seorang anak kira-kira telah menghabiskan waktu (usianya) 5.000 jam di sekolah, dengan lebih banyak berkumpul dengan teman-temannya. Seorang anak berusia 11 tahun, sebagian besar usianya, 95.000 jam, dihabiskan di rumah. Dan yang paling penting, bagian terbesar waktu tersebut, kurang lebih 85.000 jam, dihabiskan dengan berada di sisi ibunya, atau di kamar ibunya, atau minimal berhubungan langsung dengannya.

Artinya, dalam proses pendidikan anak, sebelum anak mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapatkan bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari keluarganya.

Dari kedua orang tua, terutama ibu, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapatkan pengarahan moral. Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya, pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan setelahnya.

Demikianlah, orang tua mempunyai peranan penting dalam proses pendidikan anak. Karena itu, orang tua yang berperanan dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga harus memberikan dasar dan pengarahan yang benar terhadap anak, yakni dengan menanamkan ajaran agama dan akhlak karimah. Kita tidak boleh membiarkan seorang anak memilih agamanya sendiri sesuai dengan hak asasinya setelah dewasa sebagaimana yang diajarkan JJ. Rousseau –seorang pakar pendidikan modern asal Jerman- sebelum anak memahami betul mengenai agama yang benar (Islam).

Sebab kenyataannya, seorang anak semasa kecilnya tidak pernah tahu menahu persoalan agama, tidak pernah di ajak ke masjid dan majelis taklim, maka setelah dewasa mereka tidak mempunyai perhatian terhadap masalah hidup beragama.

Menjadi orang tua bagi anak kita, sungguh bukan sesuatu hal yang mudah. Orang tua yang baik ternyata bukanlah hanya memperhatikan aspek lahiriyahnya saja, namun tidak kurang pentingnya juga memperhatikan permasalahan perkembangan ruhaniyah anak-anaknya.

Lebih mendasar lagi, mendidik anak membutuhkan orientasi yang amat jauh ke depan, membutuhkan pijakan yang lebih mendasar (Al Qur’an dan Hadits), serta menuntut kesanggupan untuk memikul amanah, sehingga orang tua memiliki kesabaran dalam melakukan proses pendidikannya. Wallahu a’lam.

NASIHAT UNTUK PENDIDIK

Nasihat Islam bagi Para Pendidik
Oleh : Gunawan Trihantoro
Tujuan yang paling tinggi bagi pendidik dan anak didik muslim adalah menegakkan agama Allah di atas muka bumi ini, dan bekerja dengan ikhlas bagi-Nya semata. Sesuai dengan firman-Nya: "Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (Al An ‘aam: 162).

Ini adalah tujuan yang mulia yang tak mungkin terwujud kecuali melalui tangan seorang yang relegius, berbudi pekerti luhur, dan layak menjadi ushwah (tauladan). Juga melalui anak didik yang religius, berprestasi, dan disertai komposisi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan terpuji serta dengan didukung oleh fasilitas-fasilitas belajar yang memadai.

Didapati dengan yakin bahwa prestasi ilmiah (keberhasilan studi) mempunyai beberap unsur, diantaranya adalah; religiusitas yang aktif, belajar yang tekun, dan pandai menggunakan perangkat-perangkat belajar dan fasilitas-fasilitas pendidikan (yang lebih) modern.

Melalui prestasi ilmiah akan dihasilkan pemimpin pelbagai bidang yang berbeda yang membantu menegakkan agama Allah dengan benar dan mendakwahkan agama itu kepada manusia. Kaum muslimin tak mengalami keterlambatan menjadi guru dunia dalam bidang ilmu pengetahuan kecuali karena mereka tidak mau berpegang pada nilai-nilai akhlak Islam, dan tidak berupaya menerapkan syari’at Allah –dalam dunia pendidikan.

Oleh karena itu, kita amat perlu meningkatkam program pendidikan, sehingga kaum muslimin kembali maju. Dalam hal itu dimulai dengan mengadakan pendidik yang efektif dan layak menjadi ushwah serta anak didik yang religius serta tekun. Hal itu nantinya akan menghasilkan kecemerlangan capaian ilmu pengetahuan.

Nasihat untuk Para Pendidik
Guru (baca: pendidik) adalah pemilik risalah yang luhur, karena ulama (ahli ilmu) adalah pewaris para nabi serta kedudukan mereka di mata Allah sangat mulia, karena mereka beramal dengan keikhlasan, ketekunan, dan kebaikan serta demi mencari ridha Allah swt. Lihat surat Al An’aam ayat 162 yang telah ditulis di awal.

Profesor Ali Mutawalli Ali, seorang tokoh di bidang pendidikan dan pengajaran juga termasuk pemimpin dakwah Islam, telah mengarang buku berjudul "Wa lil-Mu’allim ‘Asyru’ Washaayaa" (10 Nasihat Guru). Adapun nasihat ini adalah sebagai berikut :

Pertama, percayalah pada diri sendiri dan waspadalah dengan tugasmu karena engkau adalah pewaris para nabi.
Kedua, perbaiki hubungan kamu dengan pihak sekolah. Ketahuilah, sesungguhnya memperbaiki akhlak itu sebagian daripada iman. Allah swt. Telah memerintahkan kita untuk memperbaiki akhlak dalam segala sesuatu yamg diantaranya berupa perkataan yang baik.
Ketiga, persiapkan dirimu menjadi sosok yang Islami agar kamu menjadi tokoh da’i yang menjadi panutan dalam penampilan dan perkataan. Diantara tanggungjawab seorang pendidik kepada Tuhan-nya adalah berdakwah di sela-sela pekerjaannya.
Keempat, berpenampilanlah yang bagus dan bertutur kata yang sopan, sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Allah swt. telah memerintahkan kita sebagai umat Islam untuk memperhatikan diri kita dan memperhatikan pula nikmat-nikmat yang telah Allah berikan pada kita.
Kelima, tekuni disiplin ilmu dan profesimu, sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila mengerjakan sesuatu lantas ia mengerjakannya dengan sempurna.
Keenam, perlakukan anak-anakmu dengan baik serta cetaklah pada lembaran mereka yang masih putih dengan kepandaian dan perilaku yang baik.
Ketujuh, jadilah engkau pemimpin, pemberi cinta, dan kasih sayang bagi seluruh pelajar (anak didik). Allah swt telah memerintahkan kita agar mempunyai sifat penyayang serta patuh mengikuti jejak Rasulullah saw.
Kedelapan, biasakan untuk aktif pada kegiatan sekolah dengan baik dan niat yang ikhlas. Allah swt telah memerintahkan kita untuk selalu ikhlas dalam bekerja.
Kesembilan, berdakwalah pada anak-anakmu agar orang melihat padamu kebesaran Islam dan karunia Iman. Allah swt telah memerintahkan kita untuk mengajak orang-orang kepada kebaikan dan mengadakan perdamaian diantara mereka.
Kesepuluh, seimbanglah antara bersikap lunak dan tegas dalam ujian, janganlah terlalu lunak maka engkau akan lemah dan janganlah terlalu keras maka engkau akan menghancurkan.

Dari kesepuluh nasihat di atas, maka hal tersebut akan mampu menghantarkan seorang pendidik untuk sampai pada tujuan-tujuan luhur dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Sebagaimana hal tersebut juga akan mewujudkan pada dakwah kepada jalan Allah swt dengan hikmah, nasihat, kebaikan, dan dengan keteladanan (panutan). Nasihat ini juga berperan serta dalam mewujudkan prestasi bagi anak didiknya.

Praktik dari semua itu bergantung pada beberapa konsep dasar yang diantaranya terdiri dari; kualitas keimanan, kualitas akhlak, kualitas perilaku, dan kualitas teknik pendidikan. Masing-masing kualitas tersebut memiliki metode pendidikan, program pelatihan dan praktik tersendiri. Kesemuanya ini merupakan tanggung jawab bersama antara pendidik, sekolah, orang tua, lingkungan masyarakat, dan negara dalam jalinan yang tertata rapi serta terkordinasi dengan sungguh-sungguh. Wallahu A’lam.